Jaringan Advokasi NTT Kawal Revisi UU Pelindungan PMI, Soroti Ketimpangan Pelindungan hingga Urgensi Alternatif Pengasuhan Anak

Kupang, 26 Juni 2025 — Bertempat di kantor IRGSC Kupang, Jaringan Advokasi NTT yang terdiri dari KABAR BUMI dan sejumlah organisasi masyarakat sipil, aktivis, akademisi, serta purna migran, menggelar konsolidasi untuk membahas Draft Usulan dan Catatan terhadap Revisi Ketiga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Pertemuan ini menjadi bagian dari upaya memperkuat suara daerah dalam proses legislasi nasional, khususnya untuk memastikan realitas di wilayah rentan seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak diabaikan dalam perumusan kebijakan pelindungan pekerja migran.

Dalam dokumen setebal puluhan halaman yang disusun secara kolektif, Jaringan Advokasi NTT menyampaikan lebih dari 20 poin krusial yang mencerminkan tantangan struktural, kesenjangan hukum, dan kebutuhan spesifik masyarakat migran dari wilayah kepulauan. Berikut beberapa poin sorotan:

1. Negara Jangan Lepas Tanggung Jawab terhadap PMI Perseorangan

Pasal 63 yang mengatur pekerja migran perseorangan dinilai melemahkan peran negara. Jaringan menegaskan bahwa perlindungan tidak boleh dibedakan antara PMI yang ditempatkan melalui jalur resmi dan yang berangkat secara mandiri. “Negara wajib hadir tanpa syarat sebagai pelindung warga negaranya di luar negeri,” tegas salah satu peserta.

2. Alternatif Pengasuhan Anak PMI Harus Jadi Prioritas

Dalam konteks NTT, di mana banyak perempuan bermigrasi sebagai pekerja rumah tangga, pengasuhan anak kerap dilakukan secara informal dan tanpa dukungan negara. Usulan agar negara merancang skema alternatif pengasuhan melalui kerja sama lintas kementerian disoroti sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap generasi yang ditinggalkan.

3. Perlindungan Tidak Boleh Diskriminatif

Jaringan mendorong agar pasal-pasal dalam UU Pelindungan PMI menjamin hak tanpa diskriminasi, baik terhadap PMI prosedural maupun non-prosedural, termasuk para purna migran. Hal ini termasuk pelindungan hukum, sosial, dan ekonomi yang seharusnya diberikan secara merata.

4. Audit, Transparansi, dan Penegakan Hukum terhadap P3MI

Usulan untuk memperkuat pengawasan terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) menjadi sorotan penting. Termasuk pula usulan agar audit dilakukan secara berkala, serta sanksi tegas terhadap perusahaan dan oknum pemerintah yang terbukti melanggar.

5. Konteks Lokal Jadi Pertimbangan Pembangunan Sistem Informasi

Pembangunan sistem informasi PMI yang terintegrasi dinilai harus memperhatikan kesenjangan digital yang masih terjadi di wilayah-wilayah pedesaan dan kepulauan di NTT. Tanpa akses dan infrastruktur yang adil, kebijakan digitalisasi hanya akan memperlebar ketimpangan.

6. Partisipasi Publik Harus Bermakna, Bukan Seremonial

Dalam usulan penguatan Pasal 87A dan 87B, Jaringan mendesak negara untuk menjamin ruang partisipasi masyarakat yang aman, inklusif, dan dilindungi secara hukum. Pelapor kasus pelanggaran harus dijamin dari risiko intimidasi dan kriminalisasi.

Konsolidasi ini merupakan bagian dari rangkaian gerakan bersama untuk memastikan Revisi UU Pelindungan PMI tidak menjadi sekadar perubahan administratif, tetapi menjadi langkah nyata memperbaiki sistem pelindungan yang berpihak pada kelompok rentan dan berbasis pada pengalaman langsung dari daerah-daerah pengirim utama seperti NTT.

Dokumen usulan lengkap telah dikirimkan ke Kementerian Ketenagakerjaan, DPR RI, dan lembaga-lembaga terkait lainnya sebagai bentuk advokasi substantif dari akar rumput.

“UU ini tidak boleh lahir dari ruang tertutup di Jakarta. Suara teman-teman dari kampung, dari daerah yang selama ini paling terdampak, harus didengar,” tutup Karsiwen, Ketua Pusat Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia. (klv)

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.