Bertempat di Kantor Komnas Perempuan RI pada 14 Maret 2025:
- Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI memandang bahwa proses pembahasan Revisi
Undang-Undang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia dilakukan secara tidak demokratis, tidak transparan dan tidak
inklusif, serta tidak melibatkan masyarakat, terutama pekerja migran dan
komunitas pekerja migran, serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil secara
bermakna. Padahal, keterlibatan masyarakat secara bermakna dalam proses
legislasi UU seharusnya ada di setiap tahapan pembentukan UU, sejak tahap
perencanaan, penyusunan, dan pembahasan berdasarkan Pasal 96 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Proses revisi ini mengingatkan kita pada proses penyusunan UU Cipta Kerja, yang
dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Inkonstitusional Bersyarat
pada tahun 2020 atas dasar cacat formil pada Putusan Perkara No.
91/PUU-XVIII/2020. Hakim MK, dalam pertimbangan Putusan a quo, menyatakan
bahwa proses UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 karena tidak
memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi yang bermakna dalam
pembentukan peraturan perundang undangan. Lebih tepatnya, proses tersebut
mengabaikan hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan
pendapatnya, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang
diberikan. Pertimbangan hakim MK dalam perkara a quo:
“Bahwa sementara itu berkenaan dengan asas keterbukaan, dalam
persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak
memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.
Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai
kelompok masyarakat [vide Risalah Sidang tanggal 23 September 2021],
pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi
perubahan undang-undang a quo. Sehingga masyarakat yang terlibat
dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi
perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU
11/2020. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal
96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk
memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis” [vide hlm. 412 Putusan a quo] - Sejak RUU PPMI ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025
(Prolegnas Prioritas), DPR RI tidak pernah melibatkan Jaringan Advokasi dalam
memberikan masukan terhadap draf RUU PPMI. Pada tanggal 30 Januari 2025
SBMI, JBM, dan KSBSI, yang merupakan bagian dari Jaringan Advokasi, memang
diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislatif (Baleg)
DPR RI, tetapi sebelum pertemuan RDPU tersebut, Jaringan Advokasi tidak pernah
mendapatkan draf RUU PPMI dan Naskah Akademik. DPR RI juga tidak membuka
informasi publik terhadap dua dokumen tersebut. Berdasarkan rapat yang disiarkan
melalui laman Youtube Baleg DPR RI, Panitia Kerja RUU PPMI telah menyelesaikan
RUU Perubahan yang akan dibawa pada Rapat Pandangan Mini Fraksi 18 Maret - Jaringan Advokasi telah meminta draf terakhir RUU PPMI dari DPR RI, tetapi
draf ini tidak pernah diberikan secara resmi kepada Jaringan Advokasi maupun tidak
dipublikasikan melalui laman resmi DPR RI. - Menyatakan bahwa Perubahan Ketiga atas UU PPMI seharusnya difokuskan kepada
perubahan nomenklatur kementerian dalam mengakomodir adanya perubahan
kelembagaan pelindungan PMI, dalam hal ini penambahan ‘Kementerian
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia’ dan aspek kelembagaan pelindungan PMI
lainnya, termasuk diantaranya mekanisme koordinasi antarinstansi pemerintah dan
monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewenangan
Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten/Kota, dan Desa.
Berdasarkan asesmen Jaringan Advokasi, norma pelindungan yang tercantum dalam
UU PPMI telah mencerminkan standar internasional. Akan tetapi, Pemerintah
Indonesia gagal melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajiban dalam pelindungan
PMI sebagaimana diamanatkan UU PPMI, terutama dikarenakan lemahnya
koordinasi antar pemerintah di berbagai tingkatan dan monitoring dan evaluasi
terhadap tugas Pemerintah dalam pelindungan PMI. Faktor lain adalah lambatnya
penerbitan aturan-aturan turunan UU 18/2017, termasuk diantaranya Peraturan
Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia serta Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang
Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Selain itu, belum ada Peraturan Presiden tentang Atase Ketenagakerjaan yang
jelas-jelas diamanatkan oleh UU PPMI. Di tingkat provinsi, hanya 4 (empat) provinsi
yang baru mengeluarkan peraturan daerah dan/atau gubernur tentang pelindungan
PMI pasca pengundangan UU PPMI. Selain itu, masih sedikit jumlah pemerintah
kabupaten/kota dan desa yang menetapkan aturan tentang pelindungan PMI. - Jaringan Advokasi menilai bahwa beberapa norma pelindungan yang telah dijamin
dalam UU 18/2017 hingga kini belum terimplementasikan secara efektif, khususnya
terkait akses terhadap keadilan, restitusi dan kompensasi bagi korban, dan jaminan
sosial. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, hal ini juga disebabkan oleh
ketidakjelasan mekanisme pengawasan serta monitoring dan evaluasi terhadap
implementasi UU PPMI. Hal ini mengakibatkan adanya kesenjangan antara norma
yang diatur dengan realitas di lapangan. Terlebih lagi, minimnya keterlibatan
masyarakat sipil dalam proses pemantauan implementasi menjadi faktor yang turut
menyebabkan tidak efektifnya regulasi ini. Hingga saat ini pengaturan keterlibatan
masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan penempatan PMI hanya sebatas
tokenisme. Ironisnya, beberapa inisiatif masyarakat sipil dan serikat pekerja untuk
mendampingi PMI yang menjadi korban eksploitasi justru berujung pada intimidasi
dan kriminalisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. - Dalam rapat-rapat Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR RI RUU PPMI, disampaikan
berbagai pendapat yang sama sekali tidak mencerminkan filosofis dan semangat
pelindungan HAM yang telah diperjuangkan hampir 2 (dua) dekade dan pada
akhirnya dijamin dalam UU PPMI dan pengesahan International Convention on the
Protection of Rights of All Migrant Workers and Members of their Families pada
tahun 2012, antara lain:
a. Pengampunan bagi P3MI yang menempatkan tidak sesuai dengan
mekanisme UU PPMI dan terdapat pembicaraan penghapusan sanksi pidana
karena ada mekanisme pengampunan;
b. Pelindungan PMI hanya untuk PMI yang terdaftar dan masih menggunakan
terminologi PMI illegal bagi PMI yang berangkat secara tidak prosedural; dan
c. Masuknya skema pemagangan PMI dalam salah satu draf RUU.
d. P3MI melakukan perekrutan PMI.
e. Mengabaikan pelindungan PMI Perseorangan dengan mengatur ketentuan
segala risiko ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab sendiri. - Bahwa dalam salah satu draf RUU yang diterima oleh Jaringan Advokasi, Menteri
PPMI berwenang untuk memberikan pelindungan, tetapi di waktu yang sama juga
diberikan tugas untuk melakukan penempatan melalui Badan Layanan Umum yang
dibentuk oleh Menteri PPMI. Pertanyaannya, bagaimana langkah Pemerintah RI dan
DPR untuk memastikan adanya pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang
baik dalam pelaksanaan skema G-to-G, jika instansi yang bertugas untuk mengawasi
penempatan PMI, juga melakukan penempatan. Pembahasan (BLU) dalam rapat
Panja Baleg DPR RI juga tidak membahas transparansi dan akuntabilitas BLU pada
proses penempatan dan pelindungan, terutama potensi konflik kepentingan
penanggungjawab dan pengawas BLU. - Paradigma negara yang mengingkari “pekerja rumah tangga/PRT” sebagai
pekerjaan sama terhormatnya dengan status “pekerja migran formal” terlihat dari
aturan turunan UU PPMI yang tidak berpihak kepada PRT migran. Pemberian nama
- penghalusan istilah “PRT” dengan berbagai jabatan dan sebutan telah
mengaburkan profesi ini. Kenyataan bahwa PMI PRT adalah kelompok perempuan,
jumlah terbanyak dalam penempatan dan menjadi kelompok rentan dalam migrasi
kerja, menunjukkan bahwa negara belum memiliki sensitivitas gender dalam
mengelola migrasi kerja. Asas “kesetaraan gender” dalam UU 18/2017 perlu
dipertahankan dan lebih lanjut dipastikan akan diterjemahkan dalam
aturan-aturan turunan dan perencanaan anggaran supaya memenuhi kebutuhan
dan menjawab persoalan yang berbeda dari tiap kelompok gender pekerja migran.
- Bahwa pada bulan November 2024, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa
awak kapal niaga migran (AKN Migran) dan awal kapal perikanan migran (AKP
Migran) merupakan PMI dan seluruh proses penempatan mereka tunduk pada dalam
rezim pelindungan PMI melalui Putusan Perkara No. 127/PUU-XXI/2023. Dalam
salah satu draf RUU PPMI yang diterima Jaringan Advokasi, AKN Migran dan AKP
Migran atau pekerja migran sektor sea-based disebutkan dalam Pasal 4 dan 64,
sama persis dengan pengaturan dalam UU PPMI. Selama ini, pelindungan pekerja
migran sektor sea-based terkendala oleh terlambatnya Pemerintah Indonesia
menerbitkan PP 22/2022 selama 3 (tiga) tahun, serta persoalan perizinan
penempatan antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan.
Kedepannya, Pemerintah RI harus memastikan implementasi yang efektif dari
ketentuan UU 18/2017 dan aturan-aturan turunannya terkait pelindungan pekerja
migran sektor sea-based. Hal ini termasuk diantaranya pengawasan dan penegakan
hukum terhadap perusahaan-perusahaan penempatan yang tidak mengikuti
ketentuan UU 18/2017. Ketentuan terkait pengampunan kepada perusahaan yang
melanggar ketentuan UU 18/2017 dalam salah satu draf RUU yang diterima oleh
Jaringan Advokasi berbanding terbalik dari semangat atau intensi perubahan RUU
untuk pemenuhan akses terhadap keadilan bagi PMI, termasuk sektor sea-based,
yang hak-haknya dilanggar akibat proses bisnis perusahaan yang eksploitatif dan
tidak sesuai ketentuan UU 18/2017. - Bahwa secara umum, draf revisi RUU PPMI masih Jawa-sentris dan berorientasi
pada pelindungan PMI Prosedural, sementara wajah migrasi di Indonesia sejak
sebelum kemerdekaan sangat bervariasi, seperti NTT, NTB, Madura, dan Bawean,
yang mayoritas bermigrasi secara non-prosedural. Pemerintah RI dan DPR RI perlu
mendengar, menghormati, dan berdiskusi secara langsung dengan
komunitas-komunitas yang telah memiliki kultur migrasi dalam proses-proses
pembahasan revisi RUU PPMI. Terdapat berbagai praktik baik dalam budaya
migrasi, seperti di pulau Bawean, dimana komunitas Bawean aktif melakukan
pelindungan terhadap setiap pekerja migran mulai dari pemberangkatan di Bawean
hingga negara tujuan di Malaysia dan Singapura. Hal ini menandakan bahwa
pembahasan RUU PPMI harus dilakukan secara transparan, melibatkan
berbagai komunitas pekerja migran secara bermakna, dan dilandasi dengan
filosofi dan semangat pelindungan HAM bagi setiap pekerja migran, terlepas
dari status migrasi mereka.
Jakarta, 14 Maret 2025
Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI
Tentang Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI
Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI terdiri atas 5 serikat pekerja, 11 organisasi masyarakat
sipil, dan 8 komunitas pekerja migran
Serikat Pekerja - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
- Serikat Buruh Migran dan Informal Indonesia (SEBUMI) – KSBSI
- Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI)
- Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI)
- Serikat Awak Kapal Perikanan Sulawesi Utara (SAKTI Sulut)
Komunitas Pekerja Migran - Keluarga Besar Buruh Migran (Kabar Bumi)
- Jaringan Buruh Migran (JBM)
- Beranda Migran
- Ganas Community
- International Migrants Alliance
- Jaringan Buruh Migran Indonesia – Hongkong
- Ikatan Persaudaraan Pekerja Migran Indonesia (IPPMI)
- Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (Pertimig) – Malaysia
Kelompok Masyarakat Sipil/CSO: - Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)
- Solidaritas Perempuan
- Koalisi Perempuan Indonesia
- Human Right Working Group Indonesia (HRWG)
- Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW)
- Greenpeace Indonesia
- Ecosoc Rights
- Pejuang Suara Pelaut
- Migrant Care
- Sumatera Environmental Initiative (SEI)
- JPIC Divina Providentia
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.