Di tengah gelombang migrasi yang terus berlangsung, warga NTT terus menghadapi jalan buntu perlindungan
Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati posisi ke-sepuluh sebagai provinsi asal Pekerja Migran Indonesia (PMI) terbanyak di beberapa wilayah penempatan, seperti Asia dan Afrika, terutama Malaysia. Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sepanjang tahun 2023, sebanyak 2.588 PMI asal NTT tercatat bekerja di kedua kawasan tersebut.
Namun, pelindungan terhadap para migran asal NTT masih menghadapi tantangan serius. Pada 2024, terdapat 44 kasus pelanggaran hak terhadap PMI asal NTT yang dicatat dalam Catatan Tahunan Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (CATAHU KABAR BUMI). Lebih tragis lagi, BP3MI NTT mencatat bahwa sepanjang Januari hingga April 2025, sebanyak 49 PMI asal provinsi ini dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia.
Di tengah situasi tersebut, Pemerintah Indonesia tengah merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan menyusun arah baru kebijakan penempatan dan pelindungan PMI ke negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Taiwan—khususnya untuk awak kapal perikanan migran.
Dalam konteks itu, pelibatan publik secara hakiki menjadi krusial. Diskusi Publik bertajuk “Arah Kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative pada 24 Juni 2025 di Aston Kupang Hotel & Convention Center, menghadirkan berbagai organisasi masyarakat sipil, penyintas, dan pelbagai pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan termasuk Kabar Bumi, untuk menyuarakan pengalaman lapangan dan tuntutan perubahan kebijakan.
Negara Belum Hadir Menyediakan Jalur Aman
Menurut Karsiwen, Ketua KABAR BUMI, skema pelindungan dalam UU PMI yang berlaku belum menjawab kebutuhan riil migran asal NTT. “UU PMI selalu mendorong warga untuk berdokumen, tetapi infrastruktur dan akses ke sistem migrasi legal tidak pernah benar-benar disediakan,” ujarnya dalam sesi diskusi tersebut.
Ia mencontohkan situasi migrasi warga dari Adonara dan Lembata yang biasanya langsung menuju Nunukan, Kalimantan Utara. Perjalanan yang jauh dan biaya tinggi membuat jalur migrasi tidak berdokumen (ireguler) lebih banyak dipilih, karena dinilai lebih cepat, murah, dan praktis.
“Bagi pemerintah, migrasi aman itu rumit, mahal, dan lama. Tapi bagi rakyat, itu justru tidak masuk akal. Ketika migrasi legal tidak dapat diakses, maka sistem itu gagal,” tegasnya.
NTT Penerima Jenazah Tertinggi
Berbagai jenis kekerasan terus dialami oleh para PMI asal NTT—mulai dari eksploitasi kerja, kekerasan seksual dan berbasis gender (KBGO), hingga minimnya akses terhadap perlindungan hukum.
“NTT adalah provinsi dengan jumlah penerimaan jenazah PMI tertinggi setelah Jawa Timur. Kami menerima laporan hampir setiap bulan,” kata Karsiwen.
Data Kabar Bumi menunjukkan bahwa mayoritas PMI asal NTT merupakan migran tidak berdokumen.
Ini adalah konsekuensi dari sistem migrasi yang tidak ramah bagi kelompok miskin dan tinggal jauh dari pusat administrasi migrasi.
Lebih dari itu, sambung Karsiwen, satu kasus bisa mengandung lapisan kekerasan yang berulang.
“Dari proses perekrutan, keberangkatan, kerja di luar negeri, sampai pulang sebagai jenazah—semuanya mengandung kekerasan. Itu yang kami temukan di lapangan,” katanya.
Restitusi Mandek, Pelaku Bebas
Dalam mendampingi berbagai kasus, Karsiwen berkata pihaknya kerap mendapati masalah serius dalam aspek pemulihan, terutama restitusi atau ganti rugi bagi korban.
Proses hukum sering terhenti di tingkat kepolisian atau berujung pada mediasi yang merugikan korban.
Karsiwen mengungkapkan, banyak pelaku bisnis migrasi ilegal memiliki kekuasaan politik.
“Bukan rahasia lagi bahwa beberapa pemilik perusahaan perekrutan PMI itu adalah anggota DPR atau DPRD. Maka wajar kalau hukum tak pernah benar-benar menyentuh mereka,” katanya.
Peran KABAR BUMI: Mendampingi di Tengah Ketiadaan Negara
Kabar Bumi hadir sebagai organisasi yang bekerja dalam pendampingan kasus, advokasi hukum, edukasi publik, hingga riset dan dokumentasi.
Dengan hadirnya Kabar Bumi, kata Karsiwen, dapat menjadi ruang alternatif bagi migran dan keluarga mereka untuk mendapat informasi, akses keadilan, dan dukungan hukum.
Karsiwen menekankan, diskusi publik semacam ini penting bukan hanya untuk mendengarkan suara masyarakat sipil, tetapi juga menempatkan pengalaman korban sebagai dasar utama penyusunan kebijakan.
“Tidak cukup hanya merevisi undang-undang. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik—agar migrasi benar-benar aman, adil, dan dapat diakses oleh rakyat kecil,” tutupnya.
(kelv)
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.