TUNTUTAN WOMEN’S MARCH JAKARTA 2024

“AKHIRI DISKRIMINASI, LAWAN PATRIARTKI”

Tahun ini Indonesia menghadapi tahun politik terbesar dengan diselenggarakannya
Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih seluruh
jajaran pemerintah mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota legislatif hingga
pemerintah di level provinsi dan kabupaten/kota. Meskipun seolah menjalankan prinsip
demokrasi, pada kenyataannya, pergantian kekuasaan tidak mengubah budaya politik
yang bermakna. Pemilu hanya menjadi pertunjukan politik untuk meraih dan
mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Dalam banyak kesempatan, atas
nama menjaga kestabilan politik, Presiden terpilih menyatakan komitmennya untuk
melanjutkan keberlangsungan program pemerintah periode sebelumnya, seperti
berbagai Program Strategi Nasional (PSN) dan program pembangunan lainnya yang
seringkali eksploitatif, mengesampingkan kepentingan rakyat, dan dampak lingkungan.
Krisis yang terjadi di Papua memperlihatkan secara gamblang bagaimana program yang
eksploitatif berdampak besar pada kehidupan masyarakat adat, krisis lingkungan, migrasi
besar-besaran, dan indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara itu,
industri ekstraktif juga mempercepat krisis iklim, menyebabkan bencana yang
mengakibatkan krisis pangan, krisis air bersih, dan hilangnya sumber penghidupan. Hal
ini bisa berdampak pada kesehatan seksual dan reproduksi perempuan, kualitas hidup
perempuan dan anak, hingga menyebabkan meningkatnya jumlah anak perempuan
putus sekolah dan pernikahan anak.
Artinya, dalam masa pemerintahan mendatang para penguasa hanya akan berfokus
pada investasi yang menguntungkan penguasa dan oligarki, meminggirkan kebutuhan
masyarakat -terutama yang yang rentan dan dimarjinalkan- untuk menikmati ruang
hidup yang adil, setara, tidak diskriminatif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Di
satu sisi, pemerintah masih mengingkari janjinya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
berat masa lalu. Apalagi, dengan terpilihnya Presiden 2024-2029 yang merupakan
pelanggar HAM, semakin jauh kemungkinan kasus-kasus tersebut akan diselesaikan
secara adil bagi korban dan keluarga korban.
Di tengah situasi politik yang penuh kepentingan penguasa, Kekerasan Berbasis Gender
dan Seksual (KBGS) tidak pernah menjadi isu prioritas bagi pemerintah. Meskipun
Indonesia telah memiliki berbagai undang-undang yang melindungi perempuan dan
anak dari kekerasan, termasuk Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),
namun implementasi di lapangan masih lemah. Salah satu situasi yang mengkhawatirkan
adalah maraknya kasus femisida. Femisida adalah pembunuhan dengan korban
perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender, penaklukan,
opresi, dan kekerasan sistematis terhadap korban perempuan dan transpuan. Femisida
mencerminkan puncak dari rantai kekerasan yang dialami perempuan dan terkait erat
dengan isu struktural seperti patriarki, diskriminasi gender, ketimpangan kekuasaan,
serta kegagalan sistem hukum dalam melindungi perempuan. Komnas Perempuan
mencatat kasus femisida pada 2020 terpantau 95 kasus. Angkanya terus naik pada 2021
sebesar 237 kasus dan di 2022 sebanyak 307 kasus. Terakhir, Komnas Perempuan
menemukan terdapat 159 kasus di 2023. Sementara itu, Jakarta Feminist di 2023
mendokumentasikan setidaknya 180 kasus femisida dari 38 provinsi di Indonesia, di
mana terdapat 187 korban dan 197 pelaku. Meski jumlahnya yang signifikan, aparat
penegak hukum tidak menangani kasus femisida secara serius. Di Surabaya, majelis
Hakim memutus bebas pelaku femisida di tengah bukti persidangan yang menyatakan
sebaliknya.
Kekerasan terhadap perempuan, anak, dan kelompok rentan di Indonesia tentu saja
tidak terpisahkan dan berkaitan dengan apa yang terjadi di belahan dunia lainnya. Di
tengah menguatnya tren global terkait kebijakan liberalisasi ekonomi yang
menguntungkan oligarki, diiringi dengan konflik politik yang menyebabkan krisis
kemanusiaan, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan mewabah dan
terjadi di banyak negara, seperti Palestina, Lebanon, Afghanistan, Kongo, Sudan,
Myanmar, Bangladesh dan berbagai tempat lainnya. Konflik politik dan ekonomi ini
berdampak signifikan terhadap perempuan dan anak perempuan, meliputi dampak fisik,
psikologis, dan sosial yang terus berlanjut bahkan setelah konflik berakhir. Laporan
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kekerasan Seksual Terkait
Konflik menyebutkan kekerasan seksual terus digunakan sebagai taktik perang,
penyiksaan, dan terorisme di tengah krisis politik dan keamanan. Warga sipil, khususnya
perempuan dan anak perempuan yang mengungsi dan migran, menjadi sasaran
pemerkosaan, pemerkosaan berkelompok (gang rape), dan penculikan oleh kelompok
bersenjata (negara dan non-negara). Situasi ini adalah alarm bagi kita semua,
perempuan dan kelompok rentan di Indonesia, untuk membangun solidaritas lintas
batas negara dalam mengupayakan penghapusan kekerasan agar tercipta dunia yang
aman dan adil bagi kita semua.
Women’s March Jakarta menggugat segala bentuk kekerasan dilakukan secara masif
terhadap perempuan, anak, dan kelompok rentan di manapun mereka berada. Kami
menuntut pemenuhan hak dan keadilan sosial bagi semua perempuan, kelompok
marginal, rentan dan minoritas lainnya, seperti kelompok ragam orientasi seksual,
identitas gender, orang dengan disabilitas (fisik, intelektual dan psikososial), pekerja atau
buruh, pekerja migran, orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pengguna narkotika, pekerja
seks, perempuan adat; perempuan yang terdampak krisis iklim; pekerja rumah tangga,
penghayat kepercayaan, masyarakat miskin, warga binaan pemasyarakatan, orang
dengan disabilitas psikososial, dan semua identitas lainnya. Kita layak mendapatkan
perlindungan dan pemenuhan hak dari negara. Untuk itu, Women’s March Jakarta 2024
menuntut pemerintah untuk:
1. Segera mengesahkan dan menjalankan seluruh kebijakan yang mendukung
penghapusan kekerasan, diskriminasi, stigma, represi terhadap perempuan,
kelompok marginal, rentan, dan minoritas lainnya melalui:
● Menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual dengan
memperkuat implementasi UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS), termasuk namun tidak terbatas pada,
menghentikan segala bentuk bias gender dan ketidakberpihakan pada
korban kekerasan (victim blaming) dalam setiap proses hukum dan
menjamin perlindungan bagi korban dan saksi kasus kekerasan seksual;
● Mengarusutamakan prinsip keadilan gender, disabilitas, dan inklusi sosial
dalam setiap instrumen dan aturan di institusi hukum, termasuk
menginkorporasi sensitivitas terhadap kebutuhan orang dengan
disabilitas dalam Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU SPPA), Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017
tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dan aturan-aturan lain
di menyoal proses peradilan dan eksekusi putusan;
● Menjamin akuntabilitas peradilan pidana sebagai ruang untuk
memperoleh keadilan bagi kekerasan berbasis gender termasuk melarang
segala bentuk pemaksaan penyelesaian perkara kekerasan berbasis
gender dengan merevisi Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP);
● Menciptakan layanan yang aman, layak, dan berpihak pada korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam ruang lingkup domestik,
pernikahan, dan relasi intim lainnya, dengan memperkuat peraturan
turunan dan implementasi PP Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit
Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak di seluruh
daerah;
● Menjamin hak atas layanan kesehatan yang komprehensif bagi korban
kekerasan seksual, termasuk layanan kontrasepsi dan aborsi aman yang
berkualitas dan aksesibel sesuai yang diatur dalam UU No. 17 tahun 2023
tentang Kesehatan;
● Memperkuat implementasi UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk penghapusan
praktek perkawinan anak. UU ini telah mengatur perubahan batas usia
menikah baik laki-laki maupun perempuan menjadi usia 19 tahun;
● Mengesahkan RUU Perlindungan Masyarakat Adat untuk memastikan
pemenuhan hak dan memberikan perlindungan kepada masyarakat adat
yang kerap dipinggirkan;
● Mendorong Revisi UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan
memastikan adanya aturan mengenai peningkatan kapasitas untuk aparat
penegak hukum terkait sensitivitas gender sehingga dalam penindakan
memperhatikan kerentanan dan kebutuhan khusus perempuan yang
menjadi korban. Selain itu, perlu juga memastikan hak restitusi untuk
korban/keluarga korban dihitung secara inklusif dengan
mempertimbangkan gender, kondisi ekonomi, daerah asal, dan
kebutuhan spesifik korban lainnya serta diberikan secara tepat waktu;
● Mendukung adanya legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK);
● Mendorong revisi UU HAM untuk memasukkan perlindungan bagi
perempuan pembela HAM (PPHAM);
● Membentuk mekanisme dan upaya penghapusan femisida melalui
sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat terkait pencegahan femisida,
pembentukan aturan teknis di masing-masing institusi aparat penegak
hukum, dan membentuk Femisida Watch sesuai Rekomendasi Umum
Komite CEDAW No. 35 tahun 2017 tentang Kekerasan Berbasis Gender
terhadap Perempuan;
● Implementasi 21 amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor
168/PUU-XXI/2023 tentang revisi UU Cipta Kerja, di mana perubahan
tersebut mengembalikan perlindungan hak pekerja, termasuk terkait hak
cuti, ketentuan PHK, serikat pekerja, skala pengupahan, dan hak-hak lain
yang melekat pada pekerja;
● Mendorong reformasi kebijakan narkotika yang lebih humanis untuk
dekriminalisasi penggunaan dan kepemilikan narkotika melalui perbaikan
akses ke layanan harm reduction (pengurangan dampak buruk) bagi
pengguna dengan beragam kebutuhannya, termasuk klinik mobile,
pemeriksaan HIV dan IMS, dukungan kesehatan mental, kesehatan
seksual dan reproduksi, Rumah Singgah Sementara yang aman dan
inklusif;
● Segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT)
yang telah diajukan sejak 2004 untuk memastikan pengakuan terhadap
pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang berhak mendapat hak asasi
dan perlindungan dalam berbagai kebijakan nasional menyangkut
ketenagakerjaan;
● Mengakui dan menjamin bahwa Penyandang Disabilitas adalah subjek
hukum yang memiliki kapasitas hukum. Sementara saat ini, hukum
perdata indonesia masih berkata sebaliknya, sehingga mengurangi
martabat penyandang disabilitas di bawah manusia lainnya.
● Memperluas manfaat penerima bantuan hukum dalam Revisi
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (RUU
Bankum) dengan memasukkan terminologi komunitas rentan dan
termarjinalkan, khususnya di Pasal 5 ayat 1 dan aturan turunan lainnya
seperti Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini guna menjamin perlindungan
bantuan hukum, aksesibilitas, dan akomodasi yang layak bagi semua,
sesuai kebutuhan individu/kelompok, tanpa diskriminasi;
2. Mencabut dan/atau membatalkan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan
dan kelompok marginal, rentan, dan minoritas lainnya baik di tingkat lokal
maupun nasional, yakni dengan:
● Merevisi Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE)
yang berpotensi memidana korban kekerasan seksual, memberangus
kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta mengancam demokrasi
warga negara;
● Membatalkan ratusan Peraturan Daerah (Perda) dan menghentikan
segala rancangan perda diskriminatif yang tersebar di Indonesia yang
menyasar perempuan dan kelompok marginal, rentan, dan minoritas;
● Menghapus segala aturan diskriminatif dalam substansi RUU Penyiaran
yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan. Konten siaran harus
mencerminkan keberagaman dan inklusivitas, khususnya dalam
representasi perempuan, kelompok ragam orientasi seksual dan identitas
gender, dan kelompok rentan lainnya. Sebaliknya, RUU Penyiaran harus
melindungi perempuan dan kelompok rentan dengan melarang
konten-konten yang menyuburkan stigma dan diskriminasi berbasis
gender, orientasi seksual, dan ekspresi gender dalam penyiaran di media
massa dan digital;
● Mendorong penghapusan kebijakan hukuman mati di Kitab Umum
Hukum Pidana (KUHP) dan setiap peraturan perundang-undangan, serta
mendukung Resolusi PBB tentang Moratorium Penerapan Pidana Mati.
Selain melanggar hak asasi manusia, hukuman mati terbukti tidak efektif,
memakan biaya besar, dan tidak berkorelasi dengan penurunan angka
kriminalitas;
● Menghapus syarat diskriminatif tentang keterangan bebas narkotika, HIV,
bebas Hepatitis B, sehat jasmani dan rohani dalam proses rekrutmen
kerja, akses pendidikan, akses atas perumahan, dan akses pada hak-hak
dasar lainnya;
● Mengeluarkan/membatalkan RUU Ketahanan Keluarga yang masuk dalam
Program Legislasi Nasional 2025-2029. RUU ini memuat ketentuan yang
meneguhkan nilai patriarkal dalam konsep keluarga, mendiskriminasi
kelompok minoritas gender dan seksual, mengintervensi ranah privat
warga negara, dan mengunci peran gender dalam masyarakat;
● Mencabut kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat,
khususnya perempuan dan kelompok rentan lainnya, seperti kebijakan
kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau tax amnesty dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang memperburuk
ketimpangan dan menguntungkan kelompok tertentu;
3. Menghentikan praktik-praktik berbahaya (harmful practices) dan diskriminatif
terhadap perempuan, anak perempuan, dan kelompok minoritas gender dan
seksual seperti, namun tidak terbatas pada:
● Sunat perempuan;
● Tes keperawanan dan rekonstruksi selaput dara;
● Pemaksaan kontrasepsi dan larangan memiliki anak, termasuk kepada
pekerja migran, perempuan dengan HIV/AIDS, warga binaan perempuan,
dan perempuan dengan disabilitas mental dan intelektual;
● Upaya pengubahan orientasi seksual dan identitas gender melalui praktik
konversi, termasuk pernikahan paksa dan pemaksaan hubungan seksual;
● Pemaksaan pernyataan dan pemeriksaan menstruasi terhadap murid
sekolah;
● Perkawinan anak;
● Tradisi kawin tangkap, di mana pihak laki-laki dapat menculik perempuan
yang diinginkan dan jika perempuan tersebut tidak pulang ke rumah
hingga keesokan harinya, maka perempuan tersebut harus menikah
dengan laki-laki yang menculiknya;
● Tradisi sifon, di mana terjadi penculikan perempuan untuk melakukan
hubungan seksual dengan laki-laki yang baru disunat. Praktik dipercaya
dapat menyembuhkan luka dan nyeri pada laki-laki akibat sunat;
● Prosedur medis yang dilakukan tanpa persetujuan yang terinformasikan
secara baik kepada perempuan saat proses melahirkan vaginal, termasuk
menggunting vagina dan memberikan jahitan ekstra untuk kepuasan
seksual laki-laki (husband stitches);
● Diskriminasi layanan kesehatan kepada orang muda, pengguna napza,
ragam gender dan seksualitas, orang dengan HIV/AIDS, orang dengan
disabilitas terlihat maupun tidak terlihat, masyarakat miskin, dan
kelompok rentan lainnya;
● Pemaksaan penggunaan atribut atau pakaian tertentu berbasis moralitas
terhadap murid maupun pekerja;
● Kondisi dan upah yang tidak layak bagi pekerja, termasuk yang berlatar
belakang minoritas, kelompok rentan, dan termarjinalkan;
● Penyitaan atau penahanan dokumen pribadi seperti ijazah, passport,
kartu keluarga, surat nikah, akta kelahiran, dan dokumen penting lainnya
sebagai jaminan bagi pekerja, seperti pekerja migran, pekerja paruh
waktu, pekerja perjanjian waktu tertentu dan tidak tertentu (PKWT &
PKWTT), pekerja magang, dan pekerja rentan lainnya, supaya mematuhi
aturan pemberi kerja dan pihak-pihak terkait;
● Penghapusan praktik-praktik tidak manusiawi dalam penanganan
kesehatan, rehabilitasi, dan habilitasi terhadap penyandang disabilitas
dan kelompok rentan;
4. Mendorong kurikulum pendidikan yang komprehensif, adil gender dan inklusif,
yang menjamin seluruh orang bisa mendapatkan hak atas pendidikan tanpa
diskriminasi berdasarkan identitas gender, disabilitas, orientasi seksual, status
kesehatan, status ekonomi, dan status sosial budaya lainnya, termasuk
mengesahkan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) sebagai bahasa isyarat yang
sah dan diakui secara nasional.
5. Memberikan perlindungan sosial yang universal, aksesibel, berkualitas,
komprehensif, adil gender, inklusif, dan akomodasi layak (reasonable
accommodation) sehingga menjawab kebutuhan masyarakat dan kelompok
rentan yang beragam di manapun mereka berada, termasuk teman disabilitas
dan buruh migran di luar negeri. Negara harus memperbaiki program
perlindungan sosial dengan mengalokasikan anggaran yang memadai serta
bekerjasama dengan negara-negara lain dalam menjamin perlindungan sosial
bagi rakyat Indonesia di negara-negara tersebut tanpa diskriminasi.
6. Memastikan keterwakilan perempuan dan kelompok marjinal lainnya dalam
pemerintahan di tingkat eksekutif, yudikatif, dan legislatif, termasuk mengubah
komposisi pimpinan dalam Komisi VIII DPR RI yang mengatur Sosial, Agama,
Perempuan, dan Anak dengan memasukkan perwakilan perempuan dalam
pimpinan secara proporsional.
7. Menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
masa lalu secara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan hak-hak korban.
Pengakuan dan permintaan maaf atas terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu
harus diikuti dengan penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM
secara adil, transparan, dan akuntabel, memberikan pemulihan bagi korban dan
keluarga, serta menjamin ketidak berulangan pelanggaran HAM di masa depan.
8. Menuntut Pemerintah Indonesia melakukan aksi dan intervensi yang tegas dalam
mengatasi krisis iklim melalui pelibatan peran perempuan dalam kebijakan iklim
dan memastikan pengelolaan sumber daya alam, aksi iklim, dan mitigasi bencana
yang lebih inklusif dan berkeadilan. Selain itu, pemberdayaan serta dukungan
terhadap gerakan perempuan dan orang muda yang berperan melindungi
lingkungan perlu dilakukan guna mencapai upaya perlindungan lingkungan yang
berkelanjutan.
9. Menuntut pemerintah untuk menghentikan kekerasan, diskriminasi dan
pelanggaran HAM terhadap perempuan adat terutama di Papua. Khususnya
menarik pasukan militer dan kepolisian dari tanah Papua, menghentikan Program
Strategis Nasional (PSN) yang merampas hak masyarakat asli Papua, serta
bertanggung jawab atas krisis kemanusiaan yang terjadi akibat pelanggaran
tersebut.
10. Mendesak Pemerintah Indonesia mengakui konflik ekonomi politik di berbagai
wilayah, termasuk genosida, militerisme, otoritarianisme, krisis kemanusian
terhadap masyarakat Palestina, Rohingya, Myanmar, Filipina, Sudan, Congo,
Bangladesh, Papua, dan di berbagai wilayah lain, adalah isu ketidakadilan sosial
dan gender. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Pemerintah Indonesia
harus mengambil posisi politik yang tegas: menolak segala bentuk kekerasan dan
ketidakadilan yang merugikan hidup masyarakat, utamanya perempuan, anak,
dan kelompok rentan. Pemerintah Indonesia diharapkan mengupayakan
perdamaian melalui, namun tidak terbatas pada:
● Memutus segala bentuk kerjasama kepada pihak-pihak yang selama ini
berkontribusi dalam konflik dan krisis kemanusiaan;
● Memberikan pernyataan terbuka menolak kekerasan dan pelanggaran HAM;
● Melakukan diplomasi antar negara atau di tingkat regional untuk bersama-sama
menghentikan kekerasan dan pelanggaran HAM di wilayah konflik tersebut;
● Mendorong mekanisme hukum internasional terkait pengusutan dan
pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM, serta mendorong terciptanya
mekanisme pemulihan bagi korban pelanggaran HAM.

  1. Ippi
  2. ⁠crm
  3. KABAR BUMI
  4. ⁠swara
  5. ⁠dts
  6. ⁠jala prt
  7. ⁠arus pelangi
  8. ⁠aji
  9. ⁠suluh perempuan
  10. ⁠hope help
  11. ⁠ti
  12. ⁠semai
  13. ⁠ijrs
  14. ⁠ylbhi
  15. ⁠ipas
  16. ⁠nti
  17. ⁠manuwani
  18. ⁠pamflet
  19. ⁠jakfem
  20. ⁠tii
  21. ⁠icjr
  22. ⁠remisi
  23. ⁠kompaks
  24. ⁠emancipate
  25. ⁠pbhi
  26. ⁠lbhm
  27. ⁠feminis themis
  28. ⁠greenpeace

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.